- Back to Home »
- Fan Fiction , Tenager XG »
- The Sun of Promises
Posted by : Taiyou Atsuya
Selasa, 02 Juli 2013
"Kau mau pergi ke Italia?"
Sang gadis berambut hitam pendek itu menatap tajam pria berambut hitam yang berada di depannya—pria yang dulu sempat mengisi hatinya. Helai demi helai rambut hitamnya dikecup perlahan oleh angin malam yang menelusup masuk melalui ventilasi jendela cafe di mana ia berada. Pandangannya tajam—menusuk tatapan halus pria di depannya. Tidak ada ekspresi apapun di wajahnya—hanya ke-stoik-an saja yang terlihat. Sementara sang pria berdarah Italia di depannya, hanya mengulum senyumnya yang biasa. Ia memang sudah terbiasa dengan pandangan itu.
"Aku disuruh ayahku untuk meneruskan karirku sebagai Quarter Back di sana. Katanya, kesempatan kali ini sangat menguntungkan bagiku, dan ayahku memintaku untuk menjalankannya sampai karirku dapat sukses disana," ucap Taiyou —pria itu— sambil memotong Mille Feuille-nya.
"Baguslah kalau begitu," sahut Aguri—gadis tadi—sambil menyesap tehnya. Suaranya terdengar datar dan dingin. Memang seperti itulah sikap gadis ini. Datar dan dingin serta tanpa ekspresi. Seperti itulah mantan manajer Hakushuu Dinosaur—Maruko Aguri.
Sementara pria di depannya, hanya tersenyum seperti biasa sambil memasukkan potongan Mille Feuille-nya ke dalam mulutnya.
Dia sudah terbiasa dengan sikap gadis itu. Sejak saat itu.
"Aku akan di sana selama 2 tahun, cukup lama," katanya sambil meminum cola-nya.
"Lalu?" Aguri berbicara lagi.
"Kau mengajakku ke sini hanya untuk mengatakan hal tersebut?" manik mata Aguri menatap tajam ke arah pria yang berada di hadapannya. Senyum kembali terpasang di bibir lelaki itu.
"Salam perpisahan," ucap lelaki itu sejenak. Sejenak permata yang tertanam di wajah Aguri sedikit membulat.
"Aku akan berangkat malam ini juga,". Permata itu semakin membulat utuh. Meminum cola-nya sejenak, Taiyou melanjutkan,
"makanya, aku ingin mengucapkan salam perpisahanku untukmu malam ini, Maria,"
Wajah keterkejutan Aguri kembali menjadi datar. Ia kembali memandang sepotong Cassis Raspberry Cake yang berada di piring di depannya yang belum tersentuh oleh ujung besi pisau yang tergeletak manis di samping piring.
"Haha. Tidak usah khawatir. Aku akan kembali secepat mungkin. Aku berjanji," kata Taiyou iiringi dengan tawa pada awal kalimat.
"Aku tidak khawatir, dan aku tidak memintamu untuk berjanji," sahut Aguri lagi. Meski berkata begitu, tetap saja—raut wajah khawatirnya terlihat meski hanya sedikit.
Begitulah Aguri. Sejak perasaannya pada pria itu menghilang, ia selalu ber-ekspresi datar pada pria tersebut. Tapi, mau bagaimana lagi. Ia seperti itu karena Taiyou sendiri. Karena Taiyou telah mengubah jalan kemenangannya yang dulu dengan mengandalkan Power mematikan yang dimiliki Gaou-san untuk menghabisi Quarterback lawan hingga tak bisa bertanding lagi. Sejak saat itu juga, perasaannya memudar.
Namun, tidak seluruh afeksi yang ia taruh kepada pria itu menghilang. Masih ada sekeping afeksi yang mengendap dalam hatinya. Mengendap dan terus berkembang, sejak ia lulus dari SMA Hakushuu—meski ia tidak mau mengakuinya.
"Aku sudah berjanji, dan janji adalah hutang. Aku pasti akan segera kembali secepat yang kubisa. Karena itu adalah janjiku padamu, Maria," ucap pria itu sambil menatap lurus ke arah Aguri.
Membeku sejenak, mulut sang gadis kembali terbuka. "Untuk apa kau berjanji seperti itu padaku?"
Pertanyaan yang wajar—bagi mereka. Karena, pada kenyataannya, mereka bukanlah sebuah pasangan. Mereka tidak memiliki ikatan ataupun hubungan apapun. Mereka bukanlah pasangan, tapi individual—meski kebanyakan teman mereka mengira bahwa mereka adalah pasangan dan meskipun masih ada afeksi di antara keduanya.
"Karena, aku masih menyukaimu," ucap Taiyou sambil menatap lembut gadis yang lebih tua darinya itu.
"Perasaanku padamu masih belum berubah, sekalipun kita telah berpisah," katanya lagi.
Manik matanya sekarang bergerak menatap langit malam di luar jendela besar di sampingnya. Menatap langit yang bersih tanpa awan—hanya berhiaskan taburan kerlip bintang di atasnya.
Bola mata Aguri masih memandang pria itu sebentar. Kata-kata pria itu, hampir sama dengan apa yang kini sedang berkembang di hatinya. Namun tidak bisa. Meski ia mempunyai afeksi tersebut, tetap saja sulit jika harus menerima afeksi dari pria itu. Menerima afeksi yang sama dengan miliknya. Sulit—terlalu sulit.
Manik mata itu lalu ikut bergerak ke atas. Bergerak menatap langit malam yang juga dipandang oleh pria itu. Sejenak, hening di antara mereka tercipta. Entah kenapa, bibir mereka seakan terkunci. Kata-kata seakan tercekat dalam udara malam hari itu.
"Aku ..." Taiyou membuka mulutnya.
"... juga akan mengucapkan sesuatu padamu, Aguri " sejenak panggilan Taiyou pada gadis itu berubah. Aguri menoleh ke arah pria itu dengan kedua alis yang naik dan ekspresi bingung yang tercipta di wajah dewasanya.
"Apa itu?" tanya gadis berambut hitam itu sambil menatap Taiyou.
Menoleh ke Aguri. Taiyou tersenyum sejenak seraya menjawab, "dua tahun lagi, aku akan mengatakan hal tersebut. Aku janji,"
Aguri menghela napas sejenak. "Dasar," Aguri menutup matanya sambil berkata dengan sedikit kesal.
"Tenang saja, Maria. Hanya dua tahun. Aku janji aku akan segera kembali dan mengatakannya padamu," panggilan Taiyou berubah kembali pada sang gadis. Lelaki itu lalu meneguk cola-nya kembali.
"Ingat, Taiyou. Janji adalah hutang, kau tidak boleh mengingkarinya," kata Aguri sambil ikut meneguk teh di cangkirnya.
"Tenang saja. Janjiku yang satu ini akan kutepati. Tidak seperti janjiku padamu dulu," sahut Taiyou lagi dengan senyum masam di bibirnya. Ia tahu, betapa bodohnya dia, tidak bisa menepati janjinya pada gadis itu saat SMA dulu hanya karena mengejar 'kekuatan' semata.
Dan setelah itu, bibir Aguri tidak mengucapkan kata-kata lain lagi kecuali salam perpisahannya untuk Taiyou.
Two Years Later
Waktu terus berputar. Dua tahun sudah telah terlewati sejak Taiyou pergi ke Italia demi meneruskan karirnya di sana, dan dua tahun sudah Aguri menunggunya demi mendengar hal yang ingin disampaikan oleh lelaki itu dua tahun yang lalu. Menunggu Taiyou untuk menepati janjinya dua tahun yang lalu bahwa ia akan segera kembali.
Aguri tidak pernah tidak tahu kabar dari lelaki yang berada di Italia itu. Mereka selalu melakukan kontak melalui e-mail atau telepon internasional jika ada waktu. Kabar, hal yang sedang dilakukan, atau bahkan becanda garing sudah sering mengisi kotak masuk e-mail dan pembicaraan mereka di telepon. Dan dalam setiap e-mail dan pembicaraan tersebut, lelaki itu terus menerus menulis ataupun mengucapkan, "Aku janji, aku pasti akan segera kembali,".
Terus dan berulang-ulang—seolah-olah ingin membuat Aguri yakin jika pria mantan Quarter Back Hakushuu Dinosaurs itu tidak melupakan janjinya kepada gadis itu. Padahal Aguri tidak pernah menanyakan janji tersebut. Menyinggungnya pun tidak.
Ting!
Suara e-mail masuk terdengar dari ponsel milik sang gadis berambut hitam pendek itu. Menarik ponselnya, ia segera membuka e-mail yang masuk tersebut. Melihat isi e-mail itu sejenak, hingga ahirnya gadis itu menghela napas. Segera saja ia menekan tombol merah—menutup kotak masuknya dan menutup ponsel flip-nya serta kemudian memasukkannya ke dalam saku jasnya.
E-mail itu tidak perlu dijawab. Ia sudah terlalu banyak menerima e-mail yang serupa dengan e-mail tadi yang bahkan memenuhi kotak masuknya. Karena e-mail tadi hanya berisi :
"Tim Amefutoku di Italia berkembang sangat pesat di Pro Bowl Eropa. Aku janji, aku akan segera kembali jika musim ini sudah selesai."
Biru azure terlihat di sepanjang horizon yang Aguri tangkap dengan manik matanya. Daun-daun yang meranggas terlihat berarak-arakkan dipermainkan oleh angin. Tangannya memegang ponsel flip yang terlihat memancarkan cahaya dari balik layar. Jaket hitam terlihat membalut tubuhnya dengan pas dan menghangatkannya. Rambut hitamnya terlihat bergerak perlahan tertiup angin pagi kala itu. Yah, pukul lima pagi. Hei—untuk apa dia pagi-pagi begini keluar rumah?
Mungkin cukup gila jika pada keluar pada jam lima pagi hanya untuk duduk-duduk di sebuah bangku di pinggir jalan. Tapi, Aguri sudah biasa—ah, maksudnya cukup sering keluar pada jam-jam seperti itu. Bukan—bukan karena ia kurang kerjaan, hanya saja e-mail di dalam ponsel flip-nyalah yang memintanya untuk datang.
"Maria, besok lusa, pergilah ke tempat biasa, pukul lima pagi. Aku akan segera kesana,"
Selalu. Selalu saja e-mail dengan nada seperti itu yang muncul dalam kotak masuknya. Dengan sedikit menggerutu dalam diam, Aguri pun juga keluar pada jam-jam berikut. Namun, entah kenapa—hanya ada kesunyian setelah ia datang dan menunggu lelaki itu tiba. Intinya—Taiyou tidak menepati kata-katanya. Bahkan sampai fajar menyingsing dan matahari bangkit dari singgasananya—lelaki itu tidak datang.
Aguri hanya bisa mendesah kesal. Ia seperti orang bodoh yang menunggu sesuatu yang tidak mungkin. Menunggu sesuatu yang tidak pasti macam Taiyou. Hingga e-mail atau telepon yang bernada, "Maria, maafkan aku. Ada masalah di sini yang harus kuselesaikan. Maafkan aku,"
Dan Aguri hanya bisa menjawab singkat seperti, "ya. Tidak apa-apa," atau bahkan tanpa basa-basi menekan tombol merah—mengakhiri pembicaraan atau tidak membalas e-mail. Hal terakhir ia lakukan setelah ia pergi ke tempat ini untuk ketiga kalinya atas e-mail dari pria tersebut.
Namun, entah kenapa, ia masih saja menanggapi e-mail tersebut meski hasilnya nihil seperti—sekarang. Yah, sekarang. Dengan hasil nihil—dia tidak menepati ucapannya lagi. Yah, ia mengetahuinya setelah ponselnya berdering dan terdengar ucapan, "Maria, maaf. Aku tidak bisa datang lagi. Kemarin, Tim kami harus mengikuti training camp, hingga aku harus mengikutinya hari ini," Aguri tidak menjawab. Ia lebih memilih diam, meski raut wajah sedih terlihat samar di wajahnya.
"Sekali lagi, aku minta—"
Trek.
Tombol merah ditekan. Aguri sudah bosan mendengar ucapan maaf tersebut. Jika dia memang mau minta maaf, datanglah kembali dan temui aku!
Beberapa bulan kemudian, tidak ada e-mail ataupun telepon yang masuk. Tidak ada kabar
apapun dari Taiyou di Italia sana. Dan Aguri tidak begitu mempedulikan hal tersebut. Ia tahu, mungkin saja lelaki itu sedang sibuk hingga mengirim e-mail atau sekedar menelepon pun ia tidak sanggup. Tapi, dalam hatinya yang paling dalam, afeksi bernama khawatir, cemas dan rindu, tetap saja mengendap di dalam sana.
Setidaknya, Taiyou bisa membuktikan janjinya untuk kembali dan mengatakan sesuatu yang dua tahun yang lalu tidak lelaki itu katakan kepada Aguri Lelaki itu harus menepati janjinya.
Ia tidak boleh ingkar lagi atau—Aguri mungkin akan membencinya.
Dan e-mail itupun datang pada tanggal 23 Desember saat pukul setengah sebelas malam. Aguri yang baru saja selesai menyelesaikan tugas kuliahnya di Universitas Saikyoudai, segera membuka e-mail itu.
"Lusa, tanggal 25 Desember, sebelum matahari terbit, kutunggu kau di tempat biasa."
Manik mata itu menyipit sendu sejenak. Helaan napas muncul dari balik bibirnya.
'Ini yang terakhir,'
Ia pun menekan tombol merah.
Hamparan putih salju terlihat menghiasi pagi hari natal itu. Butiran-butiran salju terlihat bergoyang jatuh perlahan ke pelukan Bumi. Terlihat sebuah gundukan salju besar di hadapan seorang gadis bermata tajam dan datar. Syal putih dan jaket hitam membalut leher dan tubuhnya. Sepatu boots cokelat gelap terpasang di kaki mungilnya. Napas hangat terlihat mengepul dari balik cuping gidung dan bibirnya. Sementara matanya, menatap ponsel di genggaman tangannya terlihat mengeluarkan cahaya.
"Aku akan datang. Tenang saja, aku janji,"
"Lusa nanti, di tempat biasa. Aku akan datang,"
"Aguri, kau harus datang. Kau masih mau mendengarkan hal yang tidak kukatakan waktu itu 'kan? Aku janji, aku akan mengatakannya kalaukau datang,"
E-mail-e-mail lama itu terlihat dibuka kembali oleh Aguri Ia tahu, mungkin ini sedikit kurang kerjaan baginya, tapi entah kenapa ia ingin membaca lagi e-mail-e-mail tersebut. Hanya ingin membacanya saja, tidak lebih.
Semua e-mail tersebut selalu berisikan hal seperti itu. Selalu—karena ia selalu menghapus e-mail berisi permintaan maaf dari Taiyou Ia tidak mau membaca lagi kata-kata maaf dari pria itu. Makanya ia menghapusnya.
Kini, seperti yang diminta oleh lelaki itu, ia duduk terdiam di bangku tempat mereka akan bertemu. Bangku di depan sebuah jalan dimana mereka membuat bola salju besar di sana. Jalan dimana Taiyou berjanji akan menunjukkannya "Matahari Terbit Kemenangan" setelah kemenangan di Christmas Bowl —yang tidak tertepati— kepadanya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 05.30 dan matahari akan segera terbit lima belas menit lagi. Musim dingin memang membuat matahari sedikit lambat untuk meninggalkan singgasananya. Pria itu juga sepertinya terlambat untuk datang. Ingin sekali Aguri meneleponnya untuk memarahinya, namun kesabarannya masih ada. Ia masih sabar menunggu lelaki itu datang, paling tidak untuk lima belas menit ke depan. Dan jika lelaki itu tidak datang, ia akan pulang dan bersumpah tidak akan datang lagi sekalipun lelaki itu memaksanya untuk datang.
Ia sudah lelah menunggu lelaki itu. Menunggu janji lelaki itu. Ia ingin, penantiannya pagi ini menjadi penantian terakhirnya untuk janji lelaki itu.
Sepuluh menit sudah, sejak Aguri terakhir melihat jam tangannya. Kini, kesabarannya mulai mencapai batas. Ia ingin sesegera mungkin beranjak dari bangku tersebut. Ia sudah tidak betah.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Gadis itupun melihat ID penelepon tersebut.
'Reiji Taiyou is calling...'
Helaan napas terdengar dari bibirnya. Apa lelaki itu akan mengatakan permintaan maaf lagi? Jujur, ia benci mendengarnya. Ia benci mendengar permintaan maaf darinya terus menerus. Ia benci saat pria itu terus berjanji untuk kembali secepatnya. Ia sangat benci. Dan setelah ia menekan tombol hijau dan terdengar sebuah suara dari ponsel yang ia genggam, ia lalu—
"Maria, aku—"
—menekan tombol merah.
Ia kesal. Ia tidak mau mendengar ucapan maaf lagi. Ia juga tidak mau mendengar pesan yang selalu dijanjikan oleh pria itu. Ia kesal, ia benci, ia tidak betah lagi. Apakah lelaki itu benar-benar ingin mengingkari janjinya kepadanya lagi untuk yang kedua kalinya?
Merasa apa yang ia lakukan kini tidak berguna, ia pun bangkit dari duduknya dan tiba-tiba—
Tak.
"Eh?"
—sekotak Marshmallow Strawberry Cake mungil yang terlihat transparan dari luar, tergeletak manis di bangku di sebelahnya bersama—
"Cola?"
Ia pun berbalik ke belakang. Terlihat, pria dengan setelan Italia-nya yang biasa, tengah tersenyum seperti biasa ke arahnya. Aguri terdiam sejenak. Manik matanya menatap tidak percaya pada pria itu. Menatap dalam diam.
"Aku benar-benar menepati janjiku, 'kan, Maria—ah, Aguri?"
Terlihat setetes air mata bergulir jatuh dari pelupuk Aguri Gadis itu segera menyekanya. Ia tidak mau terlihat cengeng hanya karena menunggu Taiyou kembali. Ia pun menghirup udara sejenak—menenangkan perasaan. Setelah cukup, ia kembali berbicara, "ya. Kau menepati janjimu untuk kembali,"
"Aku juga menepati janjiku yang dulu," kata Taiyou lagi.
"Apa maksud—"
"Coba berbaliklah," potong Taiyou kemudian. Dan ketika Aguri berbalik ke belakang, ia mendadak menyipitkan matanya sebentar.
"Matahari terbit," ucapnya menyadari bahwa arah yang berada di belakangnya adalah arah timur dan menyadari jika matahari tengah terbit meski tertutup oleh awan putih khas musim dingin. Tapi, ia juga mendadak menyadari apa yang tadi diucapkan oleh Taiyou.
Segera saja ia berbalik. Taiyou hanya tersenyum seraya berkata,
"Memang ini bukan matahari kemenangan sih, tapi..." Taiyou menggantungkan kalimatnya.
"Matahari Penantianmu,"
Aguri terdiam. Sekali lagi, matanya menjadi basah. Ia pun menyeka kembali tetes demi tetes air matanya lagi. Menghilangkan dua sungai yang tercipta di wajah cantiknya.
"Iya. Tapi..." Aguri menghela napas sejenak. "Janjimu masih ada satu lagi, Taiyou,"
matanya kembali menatap Taiyou dengan tajam, seolah-olah air mata tadi hanya air mata karena terkena obat tetes mata.
Raut wajah terkejut sejenak muncul di wajah Taiyou namun segera digantikan oleh senyumnya yang biasa. "Tentu saja aku ingat,"
"Lalu apa? Apa yang mau katakan?" pinta Aguri kemudian.
Taiyou pun berjalan ke arah Aguri. Mendekat hingga berhenti tepat di depan gadis itu. Mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, ia pun berjongkok dengan posisi kaki kanan berjongkok dan kaki kiri diletakkan ke tanah dan sedikit dijulurkan ke belakang.
"Mi vuoi sposare?"
(Translate: Will you marry me?)
OOwari~
Akhirnya Fanfict lagi saat liburan setelah hiatus dari dunia per fanfict-an ini *lebaaay*
Disini ceritanya emang rada gimana gitu, dengan ending yang seperti ini (?)
Okee gausah di sebutin lah ya karakternya. Kalian para reader setia kan tau siapa-siapa aja yang ada di dalem cerita ini *ya karakter cuman 2 disini* :3
So, Thanks for Read :D