Popular Post

Posted by : Taiyou Atsuya Rabu, 07 Agustus 2013

"Hosokawa Azuna."

Sebuah tangan mungil mengangkat tinggi, pemiliknya adalah seorang anak perempuan bertubuh mungil dengan rambut cokelat muda pendek. Namanya dipanggil oleh gurunya. Hanya dengan mendengar nama lengkapnya sendiri, si gadis kecil tahu bahwa ia masih memiliki ayah—dan nama keluarganya sama dengan nama keluarga sang ayah.

Meski gadis kecil itu sudah tidak ingat lagi bagaimana hangat pelukan sang ayah dan senyum bahagianya, Azuna tidak pernah membenci ayahnya.

"Dango... dango... dango... dango... dango... daikazoku."

Lagu itu tidak pernah dilupakan oleh Azuna  ia ingat, lagu itu dinyanyikan dengan riang gembira oleh seorang wanita bersuara lembut yang wajahnya belum pernah ia lihat langsung. Ia hanya pernah melihat wajah itu di dalam foto, Sanae, neneknya, bilang bahwa wanita di dalam foto itu adalah ibunya.

Namanya Hosokawa Aguri.

Hosokawa. Nama keluarga dari sang ayah. Dua hari yang lalu Sanae membawa Azuna yang masih berusia tiga tahun untuk bertemu dengan ayahnya, namun yang terjadi malah sang ayah marah besar dan meminta Sanae untuk membawa Azuna pergi jauh darinya.

Hosokawa Taiyou membencinya.
Azuna tidak menangis, walau sebenarnya gadis kecil itu sedih. Azuna sama sekali tidak menitikkan air mata. Namun ketika kembali ke kediaman Kurokawa—rumah kakek dan neneknya, yang dilakukannya hanya menatap pigura berisi foto sang ibu.

"Azuna-chan?" tegur Sanae.

"..."

"Azuna-chan..."

"Sanae-san..."

"Hm?"

"Ceritakan padaku tentang Mama."

Sanae hanya tersenyum lembut seperti biasanya, kemudian mengacak pelan rambut cokelat Azuna  Bagi Sanae, Azuna adalah penyembuh kesepiannya setelah kepergian Aguri. Cucu perempuan yang dilahirkan oleh putrinya dengan bayaran nyawa ini sangat mirip dengan ibunya—terutama lugu dan polosnya.

"Suatu saat nanti, Papa akan bercerita mengenai Mama pada Azuna-chan."

"Bagaimana kalau Papa tidak mau?"

Sanae tersenyum lagi, "Papamu tidak akan menolak."

Azuna kecil mengangguk tanda mengerti, kemudian tersenyum tipis dan kembali memasang wajah datarnya. Seandainya sang ibu masih hidup, apakah ayahnya akan sama seperti ini? Apakah salah Azuna sehingga ibunya kini tidak ada?

"Sanae-san?"

"Ya?"

"Apakah Papa membenci Azuna?"

Sanae terkesiap, pertanyaan seperti ini...

"Sanae-san?"

...sama sekali tidak bisa ia jawab.


"Tentu saja tidak, Azuna," jawab Akio yang baru saja masuk.

"Akki!" Azuna meninju ke udara dan berlari kecil menghampiri kakeknya itu, kemudian memeluk kaki 

Akio erat-erat.

"Kau mau bermain baseball?"

"Uwm," Azuna mengangguk.

"Baiklah, ayo!" ajak Akio.

"Yo!" sahut Azuna semangat.

Sanae tahu, ajakan suaminya itu hanya untuk membuat Azuna lupa mengenai masalah tentang ayah dan ibunya. Walau selama tiga tahun ini Taiyou sama sekali tidak ingin bertemu dengan anaknya, namun sama sekali tidak ada guratan kebencian di wajah polos Azuna ketika melihat foto ayahnya ataupun di ajak bertemu dengan anaknya.

Azuna memiliki hati seputih kertas.

Tepat lima tahun sudah setelah kepergian Aguri dan kelahiran Azuna  Hari ini adalah ulang tahun Azuna yang ke-lima, dan lagi-lagi hanya dirayakan dengan Akio dan Sanae di kediaman Kurokawa. Ayahnya tidak ada. Di lima ulang tahun pertama Azuna, Taiyou tidak pernah hadir untuk sekedar mengucapkan selamat.

"Ini hadiah untukmu, Azuna-chan," Sanae memberikan sebuah kado berbentuk kotak merah berpita hijau.

"Terima kasih, Sanae-san," ujar Azuna pelan, "apakah hari ini Papa tidak akan datang juga?"
Sanae menggeleng, Akio menghisap rokoknya dalam-dalam, kemudian mengacak rambut Azuna  mencoba menghibur cucunya.

"Lebih baik kau buka hadiah dari Sanae."

"Uwm," Azuna mengangguk.

Tangan mungil itu bergerak membuka pita dari hadiah yang di dapatnya, kemudian membuka kertas kado, dan terakhir kotak berwarna putih. Di dalamnya ada sebuah mainan, kecil, bentuknya kura-kura.

"Kura-kura."

"Kau suka, Azuna-chan?"

"Uwm."

Sepasang mata hazel itu menyiratkan kebahagiaan sekaligus kesedihan secara bersamaan. Sampai kapan ayahnya tidak hadir di pesta ulang tahunnya? Apa selamanya harus begini? Padahal Azuna ingin sekali meniup lilin ulang tahunnya didampingi oleh sang ayah.

"Akki."

"Ya, Azuna?"

"Aku ingin jalan-jalan."

"Humm?"

"Aku ingin jalan-jalan bersama Sanae-san dan Akki."

"Ide bagus! Kalau begitu, minggu depan kita jalan-jalan!"

"Horeee!" Azuna mengangkat kedua tangan mungilnya dengan gembira.

Sepertinya Akio dan Sanae punya rencana lain tentang ini.
Minggu berikutnya, ketika Azuna pulang sekolah, kakek dan neneknya tidak ada di rumah. Berkeliling rumah mencari kakek dan neneknya itu pun percuma, yang ia temui di dalam rumah itu hanya seorang pria berambut biru tua, sedang duduk di ruang tamu. Tunggu! Itu... ayahnya.

"Azuna!" bentak ayahnya geram karena Azuna berisik ketika berlari berkeliling di rumah.

Langkah Azuna terhenti. Suara kasar itu hanya milik ayahnya, dan Azuna takut dengan bentakkan sang ayah. Namun ia tidak daat menahan diri untuk tidak menampakkan wajahnya di depan sang ayah.

"...Sanae-san?"

"Tidak ada," sahut Taiyou ketus.

"Akki?"

"Tidak ada. Mereka berdua sedang pergi..."

"...mereka berjanji akan jalan-jalan denganku."

"Aku tahu. Kau tunggu saja."

"Uwm."

Namun yang anak perempuan itu lakukan hanya berdiri mematung di dekat sang ayah—memandangi setiap lekuk wajahnya; rambut birunya, sepasang iris gelap, hidung mancung, dan bibirnya yang tipis. Di dagunya tumbuh janggut tipis, dan di bawah matanya ada sedikit kantung mata, tanda bahwa sang ayah kurang tidur beberapa hari ini.

"Mau apa lagi? Main sana!"

"Baik."

Azuna mengangguk polos, kemudian mengambil mainan kura-kura yang diberikan Sanae minggu lalu dari tasnya, kemudian berlari ke pintu depan. Namun...

Bruk!

Gadis kecil itu terjatuh tepat di depan pintu masuk, mendengar hal itu, refleks Taiyou beranjak dari ruang tamu dan menghampiri Azuna yang terjatuh.

"Hei, hei, kau tidak apa-apa?"

Taiyou mengangkat tubuh kecil Azuna  kemudian mendudukkan di sampingnya. Gadis kecil itu meringis menahan sakit, namun tidak tampak akan menangis—Sanae bilang ia tidak boleh menangis kecuali di toilet.

"Bagian mana yang sakit?"

"Uh-huh," Azuna menggeleng, kemudian melompat turun dan mengambil mainannya yang rusak karena ia terjatuh tadi.

"Rusak?"

"Uwm..." Azuna mengangguk lemah.

"Coba lihat," sang ayah mengambil mainan itu dari tangan Azuna  "mungkin bisa diperbaiki dengan super glue. Tunggu sebentar."

"Uwm," Azuna mengangguk patuh.

Taiyou masuk ke dalam rumah, mengambil lem dari laci dan kembali duduk di ruang tamu, dengan Azuna mengekor di belakangnya. Ingin sekali Azuna memanggilnya 'Papa', walau sekali saja, namun urung karena takut Taiyou akan membentaknya.

"Ini," Taiyou menyodorkan mainan pada Azuna setelah selesai ia perbaiki, "masih ada retakan, tapi ini jauh lebih baik daripada tadi. Jangan dimainkan sebelum lemnya kering."

"Uwm," Azuna mengangguk lagi, "terima kasih."

"Sudah main sana, jangan ganggu aku lagi."

Taiyou mencoba merebahkan tubuhnya, kemudian memejamkan matanya beberapa saat. Ia mengantuk sekali. Akhir-akhir ini ia kurang tidur karena banyak pekerjaan.
Taiyou tahu, ia tidak bisa menjadi ayah yang baik untuk Azuna  terlalu sulit. Kehilangan Aguri ketika kelahiran Azuna bukanlah hal yang mudah dilupakan oleh Taiyou.  Laki-laki itu tidak membenci anaknya, ia hanya tidak tahu harus menumpahkan semua kesalahan ini pada siapa. Untuk saat ini, Taiyou hanya bisa menumpahkan kekesalannya pada Azuna.
Baru beberapa menit Taiyou memejamkan matanya, sepasang tangan mungil menggoyangkan tubuhnya. Berat hati, Taiyou membuka matanya, kemudian bangun.

"Ada apa?"

"Tidak mau bergerak," Azuna menyodorkan mainannya.

"Coba kulihat," Taiyou kembali mengambil mainan itu, kemudian menggerakkan roda di bawahnya. 
Tidak bergerak.

"..."

"Ini rusak."

"Tidak bisa diperbaiki lagi?"

"Tidak. Kau mau membuangnya?"

"Uh! Jangan!" Azuna merebut mainan itu dari tangan Taiyou.

"Oi, oi, aku hanya bercanda."

Tidak akan pernah Azuna membuang mainan itu, mainan pertama yang diperbaiki oleh sang ayah. Mainan itu sangat berharga untuknya, benda pertama... yang diperbaiki ayahnya.
Satu hari sudah Azuna menghabiskan waktu di rumah hanya berdua dengan sang ayah. Sanae dan Akio belum menunjukkan tanda akan pulang. Dan pagi ini, Azuna duduk di pintu depan, berdua dengan sang ayah. Tepat ketika seorang tetangga berjalan di depan rumah Sanae dan Akio sambil bercanda dengan anak-anaknya.

Azuna memandang datar, ia ingin sekali seperti itu, memegang tangan ayahnya, berjalan berdua. Namun gadis kecil itu takut, takut sang ayah akan membentaknya.

"Kau mau jalan-jalan?" tanya Taiyou tiba-tiba.

"Eh?" Azuna menoleh, memandang lurus ke arah Taiyou, ekspresinya tetap datar, "Uwm."

"Kalau begitu, cepat siapkan baju dan barang yang ingin kau bawa."

"Uwm," Azuna mengangguk lagi, kemudian berlari ke dalam rumah.

Hari ini, untuk pertama kalinya, sang ayah mengajak Azuna jalan-jalan. Tanpa bentakkan, tanpa amarah, tanpa tatapan tajam.

Gadis kecil itu senang sekali.

Matahari bersinar hangat, langit mulai berubah menjadi merah keemasan, hamparan bunga-bunga terlihat begitu indah sejauh mata memandang. Azuna berkali-kali membelah hamparan bunga itu, mencari mainan robot-robotan pertama yang dipilihkan dan dibelikan oleh ayahnya kemarin. Andai saja ia bisa lebih hati-hati.

Taiyou sedang pergi tadi, meninggalkan Azuna sendirian di hamparan bunga itu.
Gadis kecil itu hampir menangis sekarang. Ia tidak ingin kehilangan benda paling berharga itu. Ia tidak ingin dibenci oleh ayahnya lebih dalam lagi. Sudah cukup atas dosanya mengambil nyawa sang ibu hanya untuk kelahirannya.

Gadis kecil itu ingin menangis sekarang. Ia putus asa. Tidak akan ada yang berubah setelah jalan-jalan bersama ayahnya ini. Ayahnya pasti tidak akan menerima kehadirannya. Semua salahnya, seharusnya ia tidak pernah lahir ke dunia ini. Seharusnya ia tidak menjadi anak dari Hosokawa Taiyou dan Hosokawa Aguri.

Ushi tahu, sampai kapanpun ia tidak akan pernah bisa merayakan ulang tahun bersama ayahnya, ia tidak akan bisa merasakan hangat pelukan ayahnya. Tidak akan pernah. Ini jalan-jalan pertama Azuna dengan sang ayah, tidak tahu kapan akan terjadi lagi.

"Papa..."

"AZUNA!"

Itu suara ayahnya, Azuna tahu itu, sang ayah akan kembali untuk menjemputnya di taman bunga ini. Namun ekspresi keras di wajah sang ayah sudah tidak ada lagi, yang ada malah senyum hangat di wajah itu.

"Kau tidak dapat menemukannya?"

"Uh-huh," Azuna menggeleng, air mata menggenang di pelupuk matanya.

"Sudahlah. Nanti kita beli lagi mainan yang seperti itu, ya?" ujar sang ayah, kemudian mengacak lembut 
rambut Azuna.

"Tidak mau!"

"Astaga. Kau keras kepa—"

"Tidak mau. Itu... itu... mainan itu hanya ada satu di dunia."

"Di toko masih banyak, Azuna."

"Tidak. Mainan pertama yang dipilihkan dan dibelikan sendiri oleh... Papa. Azuna senang sekali," Azuna menunduk.

"Azuna?"

"Papa... maaf."

Azuna tidak berharap ada pelukan hangat, namun ia bersyukur, ia masih memiliki keberanian untuk memanggil laki-laki di hadapannya ini dengan sebutan 'papa'.

"Azuna... tidak apa, nanti kita beli lagi," Taiyou berlutut, kemudian mengusap rambut Azuna.

"Papa... boleh Azuna memeluk Papa?"

"Ke sini, sayang."

Dan gadis kecil itu menghambur memeluk sang ayah dengan sangat erat. Rasanya Azuna tidak mau melepaskan pelukan itu.

"Papa... hiks... Sanae-san pernah bilang... hiks... bahwa tempat terbaik untuk menangis... hiks... adalah di toilet dan... hiks... di bahu Papa."

"Menangislah jika ingin, Azuna."

Detik berikutnya, Azuna menangis keras-keras di bahu sang ayah, persis seperti lima tahun yang lalu, saat ia pertama kali melihat dunia.

Tangisannya begitu keras dan memilukan, seakan menyadarkan Taiyou bahwa selama ini ia salah, selama ini ia tiada bedanya dengan ayah yang dibencinya. Apa yang ia lakukan pada gadis kecil ini? Apa benar semua ini salahnya hingga Aguri meninggal? Apa ini yang diinginkan Aguri?
Air mata Taiyou menetes. Di bawah sinar matahari yang akan kembali ke singgasananya, ayah dan anak itu berbagi kesedihan. Berdua.

"Dango... dango... dango... dango... dango... daikazoku."

Azuna duduk di bahu sang ayah yang berjalan melewati kerumunan orang-orang di stasiun. Gadis kecil itu bersenandung pelan bersama sang ayah, berdua.

"Papa."

"Hm?"

"Nanti kita jalan-jalan lagi, ya?"

"Iya, jika Azuna janji akan jadi anak baik."

"Uwm," Azuna mengangguk kuat-kuat.

"Kita pulang ke rumah Papa, ya?"

"Ya!" Azuna meninju ke udara.

Setelah ini, lembaran baru hidup Taiyou dimulai. Ia akan menebus dosanya selama lima tahun terakhir ini karena menelantarkan buah cintanya dengan Aguri. Ia akan membahagiakan anaknya, Hosokawa Azuna.

-END-

Owari, ff ke entah yang keberapa. Yang penting ada kerjaan lah selama liburan. Aku bikin buat ngisi waktu luang selama liburan yang SELO ini :v 
Oke ini ff terinspirasi dari Anime Clannad, anime ini sedih banget sumpah. Ciyusan dah gak bohong aku. Ini anime bisa bikin aku nangis beneran *ini yang pertama, setelah itu AnoHana*. Pokoknya True Love banget deh pasangan di anime ini :'). Oiya, lagunya yang ada di ff ini itu judulnya Dango Daikazoku (Dango Big Family) kalo mau nyarinya, biar lebih dapet feelnya baca ff ini :3

Oke ini para karakternya:
-Hosokawa Azuna: Asni (kamu kan anakku di silsilah nak :v)
-Hosokawa Taiyou: Me, The Author.
-Hosokawa Aguri: Anggrid (Maaf ya Minccino, kamu di ff ini jadi orang yang udah ga ada :'( )
-Kurokawa Sanae: Vita (Hai mama mertua :P)
-Kurokawa Akio: Afiv (Halo papa mertua :v)


Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Boku no Story Da! - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -